Budi daya dan perdagangan komoditas sambil melindungi dan mengelola hutan serta ekosistem alam lain secara berkelanjutan dari ekspansi pertanian menjadi krusial dalam mencapai target pembangunan dan iklim secara nasional maupun internasional.
Meski mempertinggi risiko lingkungan, komoditas pertanian juga meningkatkan penghidupan atas kontribusinya pada pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan ketahanan pangan.
Hal tersebut menjadi topik utama pertemuan iklim COP26 di Glasgow bulan lalu, ketika 25 pemimpin negara – termasuk Indonesia – menandatangani pernyataan bersama yang menegaskan komitmen pada Dialog Hutan, Pertanian dan Komoditas, membangun perdagangan dan pasar, mendukung petani, keterperiksaan dan transparansi, serta riset, pengembangan dan inovasi sebagai fokus utama.
Paralel dengan COP26, sebuah gelar wicara yang dimoderatori oleh Niken Sakuntaladewi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia membahas topik terkait di Paviliun Indonesia. Gelar wicara ini mengupas aspek kompleksitas perdagangan komoditas pertanian.
Di Indonesia, Trade, Development and Environment Hub (TRADE Hub) yang mengkhususkan diri pada dua komoditas — minyak kelapa sawit dan kopi — bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kehutanan dan Wanatani Internasional (CIFOR-ICRAF), Perhimpunan Konservasi Alam, Pusat Penelitian Perubahan Iklim, Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Lampung.
Neil Burgess, Ketua Ilmuwan Pusat Pemantauan Konservasi Dunia Program Lingkungan PBB dan ketua investigator TRADE Hub menyatakan, “Kami mengumpulkan data mengenai komoditas pertanian dan perdagangan hasil alam liar di Brasil, Tiongkok, Basin Kongo, Indonesia dan berbagai tempat lain untuk lebih menginformasi perjanjian perdagangan dan perusahaan perdagangan. Kami ingin belajar bagaimana, misalnya, perdagangan minyak sawit terkait dengan deforestasi dan emisi serta pendapatan desa.”
Komoditas kunci berisiko yang diidentifikasi oleh Grantham Institute on Climate Change and the Environment adalah sawit, daging sapi, cokelat, kopi dan jagung. Bagaimana interaksinya dengan iklim sangat terkait dengan kebijakan negara konsumen dan kelembagaan negara produsen.
“Konsumsi minyak sawit di Uni Eropa (UE) ditentukan oleh kebijakan dibanding preferensi konsumen, dan memberi dampak jauh,” kata Elizabeth Robinson, direktur lembaga tersebut. “UE menetapkan target bioenergi terbarukan, misalnya, meningkatkan permintaan. Penurunan permintaan dari UE juga didorong oleh kebijakan – kini muncul diskusi mengenai penghapusan pada 2030. Saya pikir mereka terlalu fokus pada minyak dibanding menghentikan deforestasi. Hal ini mengarah pada kerugian di pihak produsen, konflik antar pemerintah dan benturan di lapangan.”
Perjanjian perdagangan makin menerapkan “pendekatan non-tarif” untuk mempengaruhi negara produsen, tambahnya. Misalnya, Indonesian–European Free Trade Association’s Free Trade Agreement mengatur pengurangan tarif terkait perlindungan hutan, yang memicu isu kedaulatan.
Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) mengeluarkan Pernyataan Bersama mengenai Perubahan Iklim ASEAN pada COP26. ASEAN menyeru ditingkatkannya target dan peluang untuk pendanaan implementasi, kata Profesor Simon Tay, Ketua Singapore Institute of International Affairs.
“Secara mandiri kita ingin ‘Komunitas Iklim ASEAN’ meningkatkan aksi,” katanya. “Pasar karbon diperlukan untuk mendorong target lebih dari NDC (Komitmen Kontribusi Nasional). Kita juga harus menemukan solusi berbasis alam dengan kredit karbon berkualitas tinggi dan terverifikasi, mengaitkan pertumbuhan dengan tanggung jawab karbon. Kita juga perlu melihat bagaimana konsesi sawit dan komoditas lain dapat dikelola lebih baik untuk reduksi emisi, meningkatkan penghidupan bagi masyarakat dan memasukan investasi secara benar.”
Michael Brady, ilmuwan utama dan pimpinan kelompok riset Rantai Nilai, Pendanaan dan Investasi di CIFOR-ICRAF, meneliti perjanjian regional sebagai bagian dari Aksi Terukur untuk Manajemen Lahan Bebas Asap di Asia Tenggara, sebuah program bersama dengan Dana Internasional untuk Pembangunan Pertanian dan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Global yang diimplementasikan oleh Sekretariat ASEAN, CIFOR and Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Global.
“Terdapat 23 juta hektare lahan gambut di Asia Tenggara, 38 persen gambut tropis dunia. Indonesia dan Malaysia memiliki 99 persen,” katanya. “Perubahan iklim memperburuk cara pembakaran dalam membersihkan lahan gambut yang berdampak serius pada terjadinya asap lintas batas terhadap kesehatan, perdagangan, produksi, transportasi, perikanan, pertanian, kehilangan nyawa, dan keengganan investor luar negeri.”
Estimasi kerugian pada peristiwa kebakaran 2015 mencapai angka 16 miliar dolar AS. “Ini menjadi isu lintas sektor bagi ASEAN, yang kemudian menetapkan sejumlah kerangka kebijakan. Perjanjian Polusi Asap Lintas Batas ASEAN memberi basis politik yang kuat, dengan mensyaratkan kerja sama negara anggota untuk mencegah dan memantau asap, menyajikan informasi, dan melembagakan legislasi.”
Ia merinci beberapa faktor dalam menurunkan kebakaran dan melindungi lahan gambut. Secara regional, yaitu koordinasi antara negara dan aktor non-negara; serta metodologi, data dan estimasi pemantauan dengan pendekatan yang konsisten. Secara nasional, melalui kepemimpinan yang mendukung; pencegahan terkoordinasi; data berkualitas; dan pemahaman bersama.
Herry Purnomo, ilmuwan di CIFOR-ICRAF dan IPB, yang mengkoordinasi TRADE Hub Indonesia, menyambut ikrar COP26 untuk menghentikan deforestasi dan ikrar Indonesia agar hutan menjadi serapan karbon bersih, pada 2030.
“Tetapi bagaimana?” katanya bertanya. “Ini area dan tujuan yang kompleks, aliran uang, tingkat dan jenis pekerjaan serta emisi. Sekitar 2 juta hektare perkebunan kelapa sawit di Sumatra dan Kalimantan berada di lahan gambut. Bagaimana menghadapi ini?
Simulasi TRADE Hub di Indonesia menemukan bahwa pendekatan biasa akan memperluas perkebunan kelapa sawit, volume ekspor, penghasilan dan lapangan kerja, tetapi juga emisinya, kecuali lahan gambut dilindungi.
“Komitmen yang ada dapat menurunkan deforestasi sebagaimana kita lihat di Sumatra Selatan,” kata Purnomo, “Dan emisi dapat diturunkan secara lokal dengan menerapkan tumpang sari dan bendung kanal.”
Bagaimanapun, seringkali tidak ada pilihan kecuali memindahkan perkebunan di atas lahan gambut ke lahan lain, katanya.
Tiur Rumondang, Direktur Penjaminan, Meja Bundar Kelapa Sawit Berkelanjutan (RSPO), menjelaskan bahwa sertifikasi bertujuan menurunkan emisi dan meningkatkan penghidupan.
“Agar kelapa sawit berkelanjutan menjadi norma, pertama, harus menjadi sektor kompetitif dan berkelanjutan; kedua, penghidupan berkelanjutan, pengentasan kemiskinan, dan hak asasi; ketiga, melindungi dan memperbaiki ekosistem. Sertifikasi RSPO meliputi panduan mewujudkan hal tersebut. Pada standar P&C RSPO 2018, kami merekomendasikan agar kelapa sawit berkelanjutan tidak di atas lahan gambut.”
Ia memaparkan, skema kredit tahunan untuk petani RSPO yang telah dikucurkan mencapai Rp 19 miliar (sekitar 2 juta dolar AS) untuk 22 kelompok mandiri yang beranggotakan lebih dari 8.000 petani. Pada 2019, praktik kelapa sawit berkelanjutan oleh para anggota telah mengurangi emisi sebesar 1,4 juta ton dan melindungi lebih dari 230.000 hektare hutan bernilai tinggi. Tiur mengaku, angka kelompok tersertifikasi masih kecil – 1-2 persen – meski tahun lalu kepesertaan meningkat 180 persen.
“Kita sempat memiliki organisasi contoh, seperti FORTASBI [Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan], yang menyiapkan program untuk petani,” katanya, “pelibatan meluas. Namun jika kita ingin lebih cepat, kita perlu data lokasi petani berada.”
Ketika moderator meminta kesimpulan singkat, Robinson menyatakan, dari perspektif UE, menjadi penting untuk bekerja sama dengan negara produsen dalam mencapai tujuan yang sama. Tay menggarisbawahi urgensi kerja sama untuk menghindari penolakan. Purnomo menyatakan bahwa deforestasi nol bersih pada 2030 di Indonesia sangat mungkin dilakukan. Brady menyatakan bahwa pendekatan terintegrasi diperlukan, termasuk di tingkat regional. Sementara Rumondang menyatakan, dari perspektif praktisi kelapa sawit berkelanjutan membutuhkan kepastian dari pemerintah.
TRADE Hub didanai oleh UK Research and Innovation Global Challenges Research Fund dan dipimpin oleh Pusat Pemantauan Konservasi Dunia Program Lingkungan PBB. Indonesia menjadi salah satu lokasi negara simpul dan lokasi aktivitas riset.
The post Menurunkan Emisi dan Meningkatkan Penghidupan melalui Perdagangan dan Manajemen Gambut Berkelanjutan appeared first on CIFOR Forests News.
See the rest of the story at mysite.com
Related:
Deforestation pledge redux: Reflections on “forest loss” as dust settles on Glasgow summit
Sustainable trade and peatland management for emissions reduction and community livelihoods
Las noticias forestales del mes: selección de noviembre
source https://forestsnews.cifor.org/75598/menurunkan-emisi-dan-meningkatkan-penghidupan-melalui-perdagangan-dan-manajemen-gambut-berkelanjutan?fnl=enid