Berbagi Manfaat REDD+ untuk Mencapai Target Iklim

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melakukan transformasi pada sektor kehutanan dan tata guna lahan (FoLU) agar tercapai  serapan karbon netto pada 2030.  Tujuan itu mendapatkan banyak pujian-namun apa yang dapat memotivasi para pemilik konsesi lahan hutan untuk membuat dan mempertahankan  Langkah perubahan yang dibutuhkan?

Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut-dan pertanyaan lainnya-Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC-UI), Center for International Forestry Research – World Agroforestry (CIFOR-ICRAF), dan para mitra melakukan rangkaian dialog virtual, dalam proyek implementasi bersama dalam kerangka Global Comparative Study on Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (GCS REDD+).

Proyek ini berfokus pada pembinaan untuk penciptaan pengetahuan bersama dan saling belajar di semua tingkatan, dan memastikan para pembuat kebijakan serta praktisi bisa mendapatkan akses untuk mendapat-dan menggunakan-informasi, analisis dan perangkat yang dibutuhkan untuk merancang serta mengimplementasikan kebijakan-kebijakan dan berbagai kerja REDD+ secara efektif, efisien dan menguntungkan.

Sebagai bagian dari fase keempat GCS REDD+, seri Dialog Ilmu Pengetahuan dan Kebijakan (Science and Policy Dialogue)  berusaha melakukan penyesuaian antara  riset dengan kebutuhan di  tingkat negara, kebijakan, dan target untuk mitigasi iklim berbasis-hutan.

Rangkaian Dialog  

Dialog pertama berlangsung 16 Desember 2021, dengan tema From COP26 to G20: How research can support aligning forest, finance and development planning in Indonesia”, dan membahas soal kebutuhan akan riset yang lebih fokus guna mendukung komitmen melakukan transformasi sektor FoLU untuk dapat mencapai target serapan karbon netto 2030 yang dibuat Pemerintah Indonesia pada akhir 2021. Dialog Ilmu Pengetahuan dan Kebijakan (Science and Policy Dialogue) yang kedua dengan topik, “Improving REDD+ information to advance REDD+ architecture”, berlangsung 25 April 2022. Dialog tersebut berupaya mencari sumber daya informasi dan kesenjangan untuk mewujudkan target tersebut.  Pada 3 Agustus 2022, dialog ketiga digelar, menguji elemen insentif dalam melakukan transformasi tersebut melalui mekanisme bagi-hasil (benefit-sharing mechanisms-BMS) di tingkat nasional, subnasional, dan lokal.

Anggota Senior CIFOR-ICRAF Moira Moeliono membingkai tantangan tersebut. “Di Indonesia, kami telah melangkah maju dengan membentuk organisasi khusus atau institusi khusus (untuk bagi-hasil), dan kami telah memiliki banyak data bagi-hasil,” ujarnya. “Namun menjabarkan kebijakan ke tingkat implementasi   di tingkat lokal tidak selalu mudah, terutama karena pembagian yang dinilai adil di tingkat nasional bisa dianggap tidak adil di tingkat subnasional atau lokal”

Endah Tri Kurniawaty dari Environment Fund Management Agency (BPDLH) menyampaikan pembelajaran dari skema pembayaran berbasis hasil  (RBP) pada Proyek BSM Plan dari Green Climate Fund (GCF) REDD+  termasuk kerangka kerja hukum dan kebijakan, susunan kelembagaan, dan elemen tata kelola. “Pada saat komunitas terlibat dalam implementasi REDD+, kami yakin bahwa mereka butuh pertolongan,” ujarnya. “Kami menyadari, sebagai pemerintah kami tidak bisa sepenuhnya memberikan  bantuan untuk komunitas, itu sebabnya mengapa di lapangan banyak pendukung dan mereka bekerja sama dengan pemerintah.

Pathur Rachman As’ad dari Biro Ekonomi Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Timur juga berbagi pengalaman dari implementasi program pengurangan emisi REDD+ dan mekanisme bagi hasil (BSM) di Kalimantas Timur  yang dimulai pada 2020.

Dewa Ekayana dari Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan memberikan tanggapan untuk presentasi tersebut. “Saya melihat ini sebagai sebuah upaya bagus sehingga di masa mendatang anggaran nasional dan daerah akan bisa meniru proses ini agar lebih transparan dan akuntabel, serta semua berbasis kinerja, dan sebagainya,” ujarnya. Dia ingin tahu bagaimana cara menghindarkan pendanaan ganda, serta bagaimana bisa tercermin pada keberlanjutan pendanaan untuk Kalimantan Timur hingga tahun 2024.

Dewi Rizki dari Kemitraan (the Partnership for Governance Reform) mempertanyakan tentang kondisi pemungkin yang dibutuhkan dan akses komunitas pada RBP. “Akan ada tantangan tentang bagaimana komunitas membuat lembaga yang dapat mengakses dana dan bagaimana memastikan bahwa dana tersebut bisa didapatkan,” ujarnya. “Ini akan menjadi tantangan bagi badan yang memediasi, agar komunitas dapat mengakses dana.”

Berbagai Bentuk Hasil

Pada sesi kedua, Sepdinal, Head of Sub-National Project Management Unit (SNPMU)  Bio Carbon Fund (BioCF) Initiative for Sustainable Forest Landscapes (ISFL) memberikan kondisi terbaru persiapan BioCF-ISFL Jambi dan rancangan BSM, yang didasarkan pada tiga kriteria: efektivitas, efisiensi, dan kesetaraan.

Selanjutnya, Taryono Darusman dari PT Rimba Makmur Utama memaparkan pembelajaran yang didapat dari proyek Katingan-Mentaya yang bergerak di bidang restorasi ekosistem (melalui aktivitas-aktivitas seperti penghutanan kembali, pembasahan gambut, perlindungan hutan, dan pencegahan kebakaran) untuk mengurangi emisi, pengurangan kemiskinan, dan perlindungan habitat. Proyek ini mendapatkan dana melalui silih karbon (carbon offset) yang dijual di pasar karbon bebas. Presentasi tersebut memusatkan tentang berbagai bentuk hasil yang bisa didapatkan dari proyek tersebut, misalnya, provisi sanitasi, air minum, jaminan kesehatan, infrastruktur seperti jalan-jalan dan jembatan, dukungan kepada kelompok agama dan budaya, serta memberikan kesempatan pendidikan dengan program beasiswa. “Ada banyak variasi (hasil),” ujarnya. “Ini tidak seperti ‘one size fits all’ (satu bentuk untuk semua), karena kami menginginkan sedapat mungkin penerima manfaatnya beragam.”

Peneliti CIFOR, Stibniati Atmadja memfasilitasi diskusi presentasi-presentasi yang disajikan terdahulu dengan Efrian Muharrom, seorang ahli lingkungan pada World Bank; Prof. Daddy Ruhiyat, pimpinan Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) East Kalimantan, Dan Fredi Yusuf dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tentang presentasi sebelumnya, termasuk isu-isu pengurangan penghitungan ganda, distribusi dan penguatan kapasitas di tingkat desa, pengalokasian dana dan kriteria, identifikasi pemangku kepentingan, dan penerima manfaat.

Sonny Mumbunan, ilmuwan dari RCCC-UI merangkum diskusi, menuliskan poin-poin yang butuh didalami dan dikembangkan lebih jauh, termasuk: definisi yang lebih operasional bagi BSM (mekanisme bagi hasil) dan bagaimana kaitannya dengan pembayaran berbasis hasil; definisi kinerja dalam konteks ini; cara mengidentifikasi penerima manfaat; tentang sejauh mana komunitas berpartisipasi dan membuat keputusan berkaitan dengan BSM; serta perbedaan-perbedaan antarsub-nasional sesuai konteksnya. Mumbunan memuji para peserta dan pembicara karena menghasilkan diskusi yang dinamis: “Saya piker ini amat bagus bagi kita semua, ini menyegarkan, namun kita juga sekaligus belajar dari proses-proses tersebut.”

Riset ini merupakan bagian dari Global Comparative Study on REDD+ CIFOR. Mitra penyandang dana yang telah mendukung riset ini termasuk di antaranya yaitu Norwegian Agency for Development Cooperation (Norad, Grant No. QZA-21/0124), International Climate Initiative (IKI) of the German, Federal Ministry for the Environment, Nature Conservation, and Nuclear Safety (BMU, Grant No. 21_III_108), and the CGIAR Research Program on Forests, Trees and Agroforestry (CRPFTA) with financial support from the CGIAR Fund Donors.

The post Berbagi Manfaat REDD+ untuk Mencapai Target Iklim appeared first on CIFOR Forests News.


See the rest of the story at mysite.com

Related:
‘Barely on track’ to meet 2030 forest goals
Meninjau Kembali Kelompok Marjinal dalam Forum Multipemangku Kepentingan
Do climate pledges rely too much on tree planting?


source https://forestsnews.cifor.org/79879/berbagi-manfaat-redd-untuk-mencapai-target-iklim?fnl=enid

Post a Comment

Previous Post Next Post