Artikel ini menyajikan temuan awal penelitian kami mengenai perlindungan REDD+ di Provinsi Jambi, Indonesia; hasil penelitian telah dipresentasikan dan divalidasi bersama pemangku kepentingan utama di Jambi pada November 2022.
Perlindungan diperkenalkan untuk mengatasi potensi dampak program reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) terhadap masyarakat adat dan komunitas lokal (IP dan LC). Namun, bagaimana perlindungan ini bekerja dan apa rintangan dalam implementasinya?
Perlindungan dikonseptualisasikan dengan cara berbeda – mulai dari penghalang dampak negatif (‘do no harm’) hingga mekanisme yang dapat mengkatalisasi peningkatan kesejahteraan dan mata pencaharian masyarakat adat dan komunias lokal (‘do better’). Melalui Studi Komparatif Global CIFOR-ICRAF tentang REDD+ (GCS-REDD+), kami meneliti desain dan implementasi perlindungan REDD+ di Indonesia, Peru, dan Republik Demokratik Kongo. Tujuan kami adalah untuk memahami bagaimana perlindungan diterapkan, mengidentifikasi tantangan implementasi, dan memberikan rekomendasi untuk mengatasi tantangan tersebut.
Pada tingkat nasional, kami menelaah dokumen legal dan mewawancarai ahli hukum untuk memahami kondisi pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat dan lokal dalam konteks REDD+. Pada tingkat provinsi, kami menggabungkan keterlibatan jangka panjang kami dengan REDD+ di Indonesia dengan telaah pustaka yang lengkap dan wawancara dengan para pemangku kepentingan yang berpengalaman dengan perlindungan terkait dengan inisiatif Fasilitasi Kemitraan Karbon Hutan (FCPF) di Provinsi Kalimantan Timur, dan proyek Dana BioKarbon di Provinsi Jambi.
Di Jambi, narasumber kami meliputi lembaga swadaya masyarakat (LSM), aktor pemerintah, dan peneliti dari perguruan tinggi, serta perwakilan kelompok yang mungkin terkena dampak proyek REDD+.
Perlindungan REDD+ di Jambi
Jambi merupakan salah satu provinsi yang dipilih untuk kegiatan percontohan REDD+. Terdapat empat lokasi pada 2014: Berbak, Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Hutan Hujan Harapan dan Hutan Desa Durian Rambun. Jambi juga menjadi lokasi pasar karbon sukarela REDD+, termasuk proyek pembayaran atas jasa lingkungan Bujang Raba (2014-2020) yang dikerjakan oleh Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, dan proyek Durian Rambun (2013-2020) yang dikoordinasikan oleh Flora and Fauna International.
Mengikuti pengembangan SIS (Sistem Informasi Safeguards) REDD+ di tingkat nasional pada 2011, Jambi menjadi salah satu provinsi yang melakukan uji coba SIS REDD+, menyusul komitmen pemerintah daerah dalam mengembangkan strategi dan rencana aksi REDD+ provinsi. Provinsi ini juga berpartisipasi dalam uji coba awal PRISAI (Prinsip, Kriteria, Indikator Safeguard REDD+ Indonesia), bekerja sama dengan KKI Warsi.
Saat ini, aktivitas di bawah Inisiatif Biokarbon untuk Bentang Alam Hutan Berkelanjutan (Dana BioCarbon) di Jambi harus selaras dengan kerangka perlindungan yang disyaratkan untuk mendapatkan pembayaran berbasis hasil. Jambi memiliki target untuk mengurangi sedikitnya 14 juta ton CO2 pada 2026 untuk total pembayaran sebesar 70 juta dolar AS. Berbeda dengan Kalimantan Timur, Jambi mendapatkan dana pra investasi sebesar 13,5 juta dolar AS untuk pelaksanaan kegiatan penurunan emisi. Pembiayaan ini mendanai kesiapan REDD+ di provinsi tersebut, termasuk dukungan teknis untuk memenuhi persyaratan perlindungan Bank Dunia. Dukungan ini termasuk pembuatan standar prosedur operasi (SOP) tentang perlindungan untuk implementasi proyek dan pedoman persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (FPIC). Sampai saat ini, FPIC telah dilakukan di 170 desa; dan 60 desa lainnya pada 2023.
Terkait dengan aspek perlindungan lainnya, Jambi saat ini sedang menyusun rancangan peraturan daerah tata cara pengakuan masyarakat adat, dan telah merancang mekanisme umpan balik dan ganti rugi. Selain itu, meskipun dokumen rencana pembagian manfaat belum final, sudah ada diskusi di tingkat provinsi mengenai proporsi manfaat dan prosedur pembagian manfaat untuk masyarakat adat dan lokal.
Lokakarya: Bagaimana mendukung aksesibilitas manfaat bagi masyarakat adat dan lokal?
Temuan awal penelitian ini telah dipresentasikan dalam lokakarya dengan pemangku kepentingan REDD+ di Jambi pada 24 November 2022. Lokakarya memfasilitasi diskusi terkait pembagian manfaat serta perlindungan hak-hak masyarakat adat dan lokal, termasuk dampak REDD+ terhadap mata pencaharian. Organisasi yang mewakili dan bekerja untuk isu masyarakat mencatat pentingnya memastikan distrisbusi manfaat sampai pada masyarakat, transparansi pembagian manfaat serta pemberian informasi yang jelas dan lengkap kepada seluruh pemangku kepentingan.
Kepala unit manajemen proyek (PMU) menjelaskan bahwa kawasan tertentu telah dipilih sebagai target intervensi (misalnya taman nasional dan beberapa wilayah kesauan pengelolaan hutan). Namun, manfaat akan dapat diakses oleh pemangku kepentingan terkait di tingkat yurisdiksi, termasuk desa-desa yang tidak dapat menunjukkan kinerjanya untuk pengurangan emisi selama intervensi, sebagai bagian dari dukungan pemerintah untuk meningkatkan mata pencaharian mereka.
Langkah berikutnya program ini adalah menjalankan proses peningkatan kapasitas bagi para penerima manfaat, difokuskan untuk mendukung partisipasi efektif mereka dalam merancang program serta menyusun dan mengajukan proposal kegiatan yang akan didanai oleh pembayaran berbasis hasil dari program.
Peserta juga mengusulkan keterlibatan organisasi masyarakat sipil (CSO) sebagai pemantau independen untuk keseluruhan program, serta untuk mendukung masyarakat dalam mekanisme umpan balik dan memperbaiki keluhan.
Jambi mengambil pembelajaran dari implementasi program FCPF di Kalimantan Timur. Walaupun menerapkan standar perlindungan yang serupa, program FCPF Kalimantan Timur menunjukkan beberapa perbedaan dalam pengorganisasian program (misalnya fase kesiapan yang dikoordinasikan oleh forum multi pihak Dewan Daerah Perubahan Iklim), operasionalisasi perlindungan (misalnya proses FPIC yang didukung oleh LSM), serta keterlibatan pemangku kepentingan lain (misalnya kurangnya keterlibatan dari sektor swasta). Penelitian lebih lanjut akan difokuskan pada analisis komparatif implementasi perlindungan di kedua provinsi.
Mengkaji potensi standar pengamanan
Analisis awal kami tentang perlindungan dalam konteks Dana Biokarbon di Jambi menemukan adanya potensi untuk mendukung kemajuan lebih lanjut terkait inklusi sosial dalam sistem pemerintahan. Misalnya, program tersebut telah mendorong peningkatan partisipasi berbasis gender. Inisiatif Dana Biokarbon juga telah mendukung penyusunan rancangan peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat.
Melalui penelitian ini, kami berupaya memahami apa dan bagaimana perlindungan dapat mendukung perubahan transformasional terkait hak dalam inisiatif berbasis hutan. Kami akan terus memperbarui analisis kami sebagai bagian dari keterlibatan GCS REDD+ dengan perlindungan, memberikan rekomendasi berbasis bukti menuju REDD+ yang responsif terhadap hak yang bermanfaat bagi hutan serta masyarakat yang menjaganya.
_____
Untuk informasi lebih lanjut tentang topik ini, silakan menghubungi Ade Tamara (a.tamara@cifor-icraf.org), Nining Liswanti (n.liswanti@cifor-icraf.org) atau I Wayan Susi Dharmawan (iway028@brin.go.id)
_____
Penelitian ini merupakan bagian dari Studi Komparatif Global CIFOR tentang REDD+ (www.cifor-icraf.org/gcs). Mitra pendanaan yang telah mendukung penelitian ini meliputi Badan Kerjasama Pembangunan Norwegia, Inisiatif Iklim Internasional (IKI) dari Kementerian Lingkungan Hidup, Konservasi Alam, dan Keamanan Nuklir Pemerintah Federal Jerman, dan Program Penelitian CGIAR tentang Hutan, Pohon dan Agroforestri (CRP-FTA) dengan dukungan dari Dana Donor CGIAR)
The post Hak Masyarakat dan REDD+ di Indonesia appeared first on CIFOR Forests News.
See the rest of the story at mysite.com
Related:
Seeing from all sides: Why we need more women in science
Toucans, tapir and tortoises: Revealing the biological riches of southern Guyana
Congo Basin: Need for more funding to let ‘lungs of Africa’ breathe
Are community rights being upheld in REDD+ safeguards processes and landscapes in East Kalimantan?
Nourishing leadership: Why gender matters in development science
In DRC, Indigenous Peoples and local communities’ inclusion in REDD+ remains a work in progress
Finding common ground for community forest management in Peru
Energy transfer: How one woman scientist aims to spark enthusiasm in the next generation
Framing up the community-centred future of peatland management
For many Indigenous communities, land titles aren’t the same as tenure security
Construire des modèles tirés de la perte des forêts
Les autres mesures de conservation efficaces par zone (AMCEZ) : Une opportunité de bouleverser la « conservation coercitive »
Peran Penting Konteks dalam Deforestasi
source https://forestsnews.cifor.org/82431/hak-masyarakat-dan-redd-di-indonesia?fnl=enid