“Kita Tidak Dapat Memulihkan Gambut Tanpa Meningkatkan Taraf Hidup Masyarakat”

Di pedalaman Indonesia, membuka hutan dan gambut untuk perkebunan adalah praktik umum di kalangan komunitas lokal. Praktik tersebut bisa membawa dampak menghancurkan apabila kebakaran tak dapat dikendalikan. Kebakaran gambut khususnya, amat sulit dikendalikan karena tak terlihat di permukaan-kebakaran berlangsung di lapisan bawah gambut.

Guna mencegah kebakaran hutan dan gambut, Center for International Forestry Research and World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) bekerja sama dengan beberapa mitra peneliti dari lokal dan regional: Pemprov Riau, Pusat Penelitian Gambut dan Bencana Universitas Riau dan Sedagho Siak, koalisi organisasi masyarakat sipil di tingkat lokal, nasional, dan internasional. Para mitra melakukan riset dengan pendekatan aksi-bersama, Participatory Action Research (PAR) pada pencegahan karhutla dan pemulihan gambut di komunitas tapak, di desa-desa Kayu Ara Permai dan Penyengat di Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Lokasi tersebut strategis: lebih dari separuh wilayah Kabupaten Siak berupa gambut, dan kebakaran yang berlangsung akhir-akhir ini, tahun 2020 dan 2021, terjadi kebakaran pada sekitar 4-5 persen wilayah hutan dan gambut di Provinsi Riau.

Pada acara yang berlangsung di Jakarta, 30 Agustus 2023, para mitra penelitian meluncurkan buku berjudul, ‘Fire Prevention and Peatland Restoration – Community-based Action in the Digital Age’, menuliskan temuan penelitian mereka. Mereka juga meluncurkan buku panduan dan Kumpulan Pelajaran yang didapatkan dari penelitian tersebut, hasil tulisan kolaboratif dengan masyarakat lokal yang akan dibagikan kepada kolega CIFOR-ICRAF di Amerika Selatan dan Afrika.

Herry Purnomo, Ketua Tim Penelitian, Ilmuwan Senior dan Deputi Direktur CIFOR-ICRAF Indonesia, berbagi poin-poin penting yang positif dari penerapan Participatory Actions Research (PAR) yang digunakan dalam proyek tersebut, yang merupakan kombiasi dari penelitian dan aksi. “Restorasi yang baik tidak akan terjadi jika kita mengabaikan peran dari masyarakat lokal,“ ujarnya. “Karena alasan tersebut, kami bekerja keras di lapangan untuk bersinergi dalam membangun model bisnis. Kita tidak dapat memulihkan gambut jika kita tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat.”

Dalam proyek ini diterapkan metode PAR Augmented yang terbagi dalam fase-fase refleksi, perencanaan, aksi, dan pemantauan. “Seperti dalam fase aksi, kami tidak hanya memberikan rekomendasi namun kami memberikan hasil yang dapat dijadikan sebagai pembuatan kebijakan barbasis-bukti,” ujar Purnomo. Dari proses tersebut nampak nilai PAR untuk efisiensi-biaya restorasi dan hasil dari pemantauan.

Menjalankan riset di masa COVID-19 penuh dengan tantangan, karena peneliti tidak dapat melakukan interaksi tatap muka dengan komunitas yang diteliti, dan harus menggunakan beragam pilihan atas Teknologi Komunikasi Informasi (CTI-Information and Communication Technology (ICT) yang memungkinkan membangun partisipasi dari jarak jauh, seperti Zoom, Google, Meet, dan WhatsAspp. Namun demikian, sebagai suatu terbitan daring, keterbatasan ini juga membawa hal positif, dan menjadi suatu pembelajaran penting bagaimana melakukan kolaborasi jarak jauh.

Peneliti CIFOR-ICRAF, Dyah Puspitaloka menyatakan harapannya, agar publikasi ini dapat menginspirasi komunitas-komunitas lain di tempat-tempat lain dalam menghadapi tantangan dan menghasilkan inovasi. “Kami berharap riset ini bisa membawa transformasi digital untuk para peneliti, dan demikian juga untuk komunitas akar rumput, dan bisa digunakan untuk membangun model-model bisnis bersama.” Dalam proyek yang dilakukan itu, ujarnya, lahir berbagai kemungkinan membangun bisnis di lahan gambut seperti perikanan, perkebunan, wisata alam, namun pewujudannya masih membutuhkan riset-riset lanjutan.

Rogier Klaver, Kepala Manajemen Proyek CIFOR-ICRAF menegaskan, bahwa keterlibatan semua pemangku-kepentingan dari pemerintah lokal hingga nasional, dunia usaha, masyarakat sipil, akademia, dan masyarakat lokal memainkan peran amat penting dalam mencegah karhutla dan restorasi gambut. Kaharuddin, Kepala Badan Pengendalian Bencana Daerah Riau menguatkan: “Suatu sistem yang terintegrasi amat dibutuhkan untuk menciptakan kecepatan dan ketepatan dalam penanganan karhutla,” ujarnya.

Husni Merza, Wakil Bupati Siak, mengatakan bahwa di beberapa desa sudah dialokasikan dana untuk pencegahan karhutla, dan harus didorong untuk menggunakannya dengan bantuan dari pemangku-kepentingan lainnya. “Kami juga menyebarluaskan pengetahuan tentang jenis-jenis tanaman apa yang cocok untuk ditanam di lahan gambut dan memiliki keuntungan ekonomi.”

   Strengthening Fire Prevention in the Dry Season and EI-Niño through Community-Based Peat Restoration in the Digital Age. Foto oleh: Aulia Erlangga/CIFOR-ICRAF
   Strengthening Fire Prevention in the Dry Season and EI-Niño through Community-Based Peat Restoration in the Digital Age. Foto oleh: Aulia Erlangga/CIFOR-ICRAF

Peneliti Senior CIFOR-ICRAF, Beni Okarda mengatakan bahwa riset ini telah menyumbang pada pengembangan sistem pemantauan restorasi berbasis-komunitas, di mana komunitas didorong untuk berpartisipasi dalam pengumpulan data dengan memantau tingkat permukaan air di gambut, dan tutupan pohon – termasuk menetapkan titik-tititk pemantauan permukaan air, serta menyiapkan dan membuat sumur-resapan serta tiang-tiang pancang.

Ahli ekologi Universtas Riau, Ahmad Muhammad mengatakan bahwa model “Fire Care Communities” (Masyarakat Peduli Api) telah dibentuk sejak 2015, dan sekarang dibutuhkan Masyarakat Peduli Air (Water Care Community) untuk mengawasi kondisi kelangkaan air di lahan gambut. “Hal terpenting adalah menumbuhkan inisiatif dari bawah lebih banyak lagi,” ujarnya.


Riset ini didukung oleh Temasek Foundation dan Singapore Cooperation Enterprise.


Untuk informasi lebih lanjut pada topik ini, silakan kontak Herry Purnomo di email h.purnomo@cifor-icraf.org

The post “Kita Tidak Dapat Memulihkan Gambut Tanpa Meningkatkan Taraf Hidup Masyarakat” appeared first on CIFOR Forests News.


See the rest of the story at mysite.com

Related:
Seeing from all sides: Why we need more women in science
Toucans, tapir and tortoises: Revealing the biological riches of southern Guyana
Congo Basin: Need for more funding to let ‘lungs of Africa’ breathe
Are community rights being upheld in REDD+ safeguards processes and landscapes in East Kalimantan?
Nourishing leadership: Why gender matters in development science
In DRC, Indigenous Peoples and local communities’ inclusion in REDD+ remains a work in progress
Finding common ground for community forest management in Peru
Energy transfer: How one woman scientist aims to spark enthusiasm in the next generation
Framing up the community-centred future of peatland management
For many Indigenous communities, land titles aren’t the same as tenure security
“We cannot restore the peatlands if we don’t improve the livelihoods of the people”
Con agroecología, este país se está convirtiendo en un centro de innovación alimentaria
Menakar Upaya Restorasi Gambut dan Pencegahan Karhutla


source https://forestsnews.cifor.org/84201/kita-tidak-dapat-memulihkan-gambut-tanpa-meningkatkan-taraf-hidup-masyarakat?fnl=enid

Post a Comment

Previous Post Next Post