BERDASARKAN data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat tahun 2020 menyebutkan sebanyak 1.150 dari 2.031 desa di Kalbar berada di kawasan hutan. Baik itu hutan lindung, cagar alam, maupun hutan produksi. Satu di antaranya adalah Dusun Kopiang, Desa Mandor, Kecamatan Mandor, Kabupaten Landak.
Sejatinya, hutan memberikan dampak positif bagi masyarakat yang ada di sekitarnya. Namun seringkali, penetapan status kawasan hutan justru menimbulkan dampak sosial bagi masyatakat yang bermukim di dalamnya. Mulai dari tata kelola, hingga sulitnya mendapatkan alas hak atas tanah yang didiami. Lantas, bagaimana nasib mereka?
Dua tahun lalu, tepatnya 5 Oktober 2020, Pontianak Post berkesempatan mengunjungi daerah itu. Dusun terpencil itu berada di antara Cagar Alam Mandor dan Hutan Pendidikan (KHDTK) yang dikelola oleh Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak.
Untuk bisa tiba di dusun itu, saya harus menempuh perjalan sekitar 3 jam dari Pontianak menuju Mandor. Setibanya di Mandor, perjalanan dilanjutkan menuju Dusun Kopiang, dengan melintasi jalan setapak yang ada di dalam kawasan Cagar Alam Mandor.
Cagar Alam Mandor merupakan kawasan lindung seluas 3.080 hektare, berdasarkan berdasarkan Surat Keputusan Het Zelfbestuur Van Het Landschap Pontianak, 30 Maret 1936, yang kemudian ditetapkan ulang oleh Pemerintah Indonesia dengan mengatur ulang batas-batas kawasannya mulai 15 Januari 1980.
Kawasan ini pernah dijuluki sebagai miniatur hutan Kalimantan Barat. Di dalamnya terdapat vegetasi yang didominasi oleh beberapa jenis pohon langka. Selain itu juga beragam jenis fauna seperti beruang madu (Herlactos malayanus), Kelempiau (Hylobates agilis), Kancil (Tragulus Napu dan Tragulus javanicus), Rusa Sambar (Cervus unicolor), Binturong (Arctictis binturong), dan beberapa jenis musang (Viverriae) serta Landak (Hysterix branchyura).
Setelah hampir setengah jam perjalanan melintasi kawasan lindung itu, saya pun tiba di Dusun Kopiang. Sepintas dusun ini tidak ada bedanya dengan dususn-dusun di pedalaman Kalimantan Barat lainnya. Sepi. Tidak ada lalu lalang masyarakat.
Di dusun itu, saya bertemu dengan sejumlah tokoh masyarakat. Antaranya Kartopo (47), Kontan (81), dan Abdul Hadi.
Sekarang, kondisinya kian memprihatinkan. Sebagian kawasannya telah rusak akibat aktivitas pertambangan emas illegal.
“Kalau jam segini memang sepi. Orang-orang masih bekerja,” ujar Kartopo (47).
Dusun ini terdiri dari 42 kepala keluarga (KK) dengan jumlah penduduk 118 jiwa. Lebih dari 40 persen penduduknya masih menggantungkan hidup dari hasil hutan, 20 persen sebagai peladang, 30 persen pekerja tambang, dan 10 persen perkebunan kelapa sawit.
Kegelisahan terpancar di raut wajah mereka. Alas hidup yang mereka diami selama puluhan tahun tidak bisa dimiliki seutuhnya.
“Kami saat ini seperti diombang ambing. Tanah tempat kami berdiam dan lahan tempat kami mencari makan tidak bisa kami miliki,” ungkap Abdul Hadi, ketua RT 06/03 Dusun Kopiang.
“Kami pernah ingin mengajukan untuk pembuatan sertifikat tanah. Tapi ditolak. Ternyata, dusun kami ini berada di kawasan hutan produksi (HP),” sambungnya.
Menurutnya, penetapan kawasan hutan produksi tersebut baru ditetapkan sekitar tahun 1997. Sementara masyarakat telah mendiami dusun itu jauh sebulum ada penetapan kawasan.
“Kami seperti menumpang di tanah sendiri. Karena kawasan ini dikelola Universitas Tanjungpura,” bebernya.
Perhutanan Sosial
Terkait dengan hak kelola masyarakat yang ada dalam kawasan hutan, Adi Yani mengatakan, pemerintah memberikan akses kelola hutan oleh masyarakat melalui Program Perhutanan Sosial.
Program ini, kata Yani, bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pola pemberdayaan dengan tetap berpedoman pada aspek kelestarian hutan.
Program tersebut membuka kesempatan bagi masyarakat sekitar hutan untuk mengajukan hak pengelolaan areal hutan kepada pemerintah, untuk selanjutnya diproses dan jika sudah disetujui, maka masyarakat berhak untuk mengelola (mengolah dan mengambil manfaat) dari hutan secara berkelanjutan.
Terpisah, Direktur People Resources and Conservation Foundation (PRCF) Indonesia Imanul Huda mengatakan, progam perhutanan sosial saat ini menjadi solusi pengelolaan hutan oleh masyarakat.
Menurut dia, dalam program perhutanan sosial ada beberapa skema yang bisa diakses oleh masyaraka. Di antaranya, skema hutan desa atau hutan adat, atau pun skema lain yag bisa menghubungkan antara upaya konservasi dengan ekonomi.
Secara struktur, ini dibawah pemerintah desa. Di mana desa diberi mandat untuk mengelola hutannya secara mandiri.
Namun demikian, untuk bisa mengelola program perhutanan sosial ini perlu adanya sinergi antara masyarakat, NGO dan pemerintah.
“Untuk mengelola perhutanan sosial tidak bisa jalan masing-masing. Ada sinergitas di sana,” kata Imanul Huda, kepada Pontianak Post, kemarin.
Peran NGO misalnya. Lembaga swadaya masyarakat ini berperan sebagai fasilitator. Yakni memfasilitasi bagaimana masyarakat menganalisis permasalahan utama di dalam hutan desa itu sendiri. Misalnya, parktik perladangan yang mengakibatkan penggundulan hutan atau aktivitas penebangan pohon yang berdapak pada degradasi hutan.
“Dari situ mereka menelaah dan mencari solusi. Ininya mengidentifikasi permasalahan yang ada,” katanya.
“Jika pemegang izin ini paham dengan permasalahan yang ada, artinya clear, akan melakukan apa mereka dengan hutan desa itu. Mau membenahi sistem petanian di desa mereka kah, membenahi tata kelola hutannya, kelembagaannya dan bagaimana meningkatkan pendapatan masyarakat di desa itu. Setelah itu mereka berfikir, dengan siapa mereka akan bekejasama,” sambungnya.
Dikatakan Imanul, di beberapa desa tidak semua berfikir sama, ada juga yang memiliki kekhawatiran.
Untuk itu, kata dia, perlu adanya dorongan sinergitas antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, NGO dan masyarakat itu sendiri.
Pelepasan Kawasan
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat Adi Yani mengatakan, penetapan kawasan hutan menjadi kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Gubernur selaku kepala pemerintah daerah tidak berwenang menerbitkan perizinan di bidang kehutanan.
Menurut Yani, jika dalam kawasan hutan terdapat lahan pertanian, perkebunan milik masyarakat bahkan pemukiman maka, ada program yang berkenaan dengan penetapan dan distribusi pemanfaatan kawasan hutan. Yakni pelepasan kawasan hutan untuk mendukung program tanah obyek reforma agraria (TORA).
“TORA itu tanah yang berasal dari pelepasan kawasan hutan negara atau hasil perubahan batas kawasan hutan yang ditetapkan oleh KLHK,” katanya.
Berdasarkan Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) adalah tanah yang dikuasai oleh negara dan/atau tanah yang dimiliki oleh masyarakat untuk diredistribusi atau dilegalisasi.
Oleh karena itu, lanjut Yani, untuk memberikan kepastian hukum dan legalisasi yang sah dan diakui oleh para pihak, maka sumber TORA tentunya sudah dipastikan statusnya. Tanah dalam kawasan hutan yang telah dikuasai oleh masyarakat dan telah diselesaikan penguasaannya sesuai dengan kententuan perundang-undangan.
Program ini, kata Yani, bertujuan agar mampu mengurangi ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah yang ada dalam masyarakat serta mampu menciptakan keadilan, sekaligus menjadi sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Untuk itu, subjek yang telah mendapatkan TORA, nantinya wajib diikutkan dalam program pemberdayaan masyarakat dengan basis pemanfaatan tanah, di antaranya melalui bantuan permodalan, bantuan teknis dan akses kepada sumber ekonomi lainnya, hingga mencapai tahap kemandirian.
Surat Adat dan Pungutan Pajak
Kartopo beranjak dari tempat duduknya. Ia mengambil selembar kertas yang diyakini sebagai surat adat. Bukti alas hak kepemilikan tanah dan lahan mereka.
Kertas itu berupa surat pengakuan milik adat yang dibuat pada 10 Mei 1952.
Surat itu berisi penyataan yang ditulis menggunakan huruf sambung yang ditandatangani oleh kepala kampung pada 27 Juli 1987.
“Jika melihat surat ini, tanah ini milik kami. Tapi kenapa kami tidak bisa memiliki sertifikat tanah?” tanya Kartopo.
Kartopo merupakan anak dari mantan kepala kampung tersebut.
Hal itu juga dibenarkan oleh Kontan. Mantan wakil kepala kampung yang mendampingi ayah Kartopo.
Saat itu, Kontan berusia 81 tahun. Meski tidak muda lagi, ingatannya masih cukup baik. Ia bahkan bisa menjelaskan batas-batas wilayah yang tertera di dalam surat itu.
“Gunung ini ada di sana. Sekarang menjadi kawasan hutan lindung,” katanya.
Saat ini, kata Kontan, surat itu menjadi satu-satunya bukti kepemilikan lahan masyarakat Dusun Kopiang.
Ironinya, meski tidak memiliki sertifikat hak milik atas tanah, warga Dusun Kopiang tetap harus membayar pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Di dusun itu terdapat 35 rumah atau bangunan yang dihuni oleh masyarakat. Setiap bangunan memiliki luasan yang berbeda-beda. Termasuk bentuk fisik dan bahannya. Ada yang terbuat dari papan kayu, ada pula yang sudah permanen.
Berdasarkan surat tanda terima setoran (STTS) Pajak Bumi dan Bangunan yang dikeluarkan oleh Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Landak, luas tanah (LT) dan luas bangunan (LB), setiap wajib pajak dibuat merata.
Seperti lembar STTS milik Kartopo misalnya. Luas tanah milik Kartopo tertera 300 meter persegi dan luas bangunan 40 meter persegi. Hal ini sama seperti milik Bece, yang dalam STTSnya tertera luas tanah dan luas bangunan 300 meter persegi dan 40 meter persegi.
“Kami tidak memiliki sertifikat tanah, tapi kami masih diwajibkan untuk bayar PBB,” timpal Abdul Hadi.
“Kami yang menidiami tanah ini saja tidak tahu berapa luasan tanah dan bangunan. Tapi kok pemerintah bisa tahu. Apa dasarnya,” sambungnya.
Menurut Hadi, masyarakat Dusun Kopiang pernah melakukan protes dan menolak membayar pajak bumi dan bangunan. Namun, usahanya gagal. Pihak pemerintah mencatatnya sebagai penunggak pajak.
Untuk itu, ia berharap pemerintah bisa memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat Dusun Kopiang tersebut.
sumber : pontianakpost