Panduan Agroforestri Terbaru, Upaya Membantu Transformasi Sistem Pangan Indonesia

Upaya global mengatasi kehilangan keanekaragaman hayati menuju arah yang lebih baik, diakui pada Konferensi Para Pihak ke-15 Konvensi Keanekaragaman Hayati PBB pada Desember 2022, bahwa pentingnya seluruh bentang alam untuk konservasi keanekaragaman hayati.

Langkah yang tampak kecil ini sejatinya mencerminkan pencapaian historis. Sebelumnya, upaya keanekaragaman hayati dianggap penting, terutama pada habitat alami, kawasan lindung, dan pertanian secara khusus diidentifikasi sebagai ancaman terhadap keanekaragaman hayati di wilayah tersebut. Namun, melalui penyelarasan dalam Konvensi, peran bentang alam pertanian dalam konservasi keanekaragaman hayati menjadi sangat signifikan.

Pertanian, yang mencakup hampir 50% potensi lahan produktif di permukaan bumi, sangat dihargai pengakuan terhadap perannya dalam keanekaragaman hayati. Konvensi saat ini mendorong negara-negara untuk mengadopsi pendekatan manajemen bentang alam yang tidak hanya menjamin produktivitas pertanian, tetapi juga menjaga kondisi dan habitat yang mendukung keanekaragaman hayati liar, serta berperan dalam menyediakan koridor migrasi bagi satwa liar.

Kesepakatan baru dalam Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global ini sangat signifikan, terutama di Indonesia. Negara ini memegang peranan kunci karena memiliki keanekaragaman hayati yang sangat kaya, dengan 25 ‘hotspot’ dan 24 ‘Kawasan Burung Endemik’ menurut Bird Life International. Keanekaragaman hayati yang beragam ini memiliki dampak besar pada keberlangsungan hidup jutaan penduduk. Diperkirakan sekitar 40 juta penduduk Indonesia yang tinggal di desa sangat bergantung pada keanekaragaman hayati untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka.

Tantangan dalam menyelaraskan rivalitas kepentingan pemanfaatan lahan, serta mengelola dampak terkait perubahan iklim seperti kekeringan dan kebakaran, menjadi krusial bagi Indonesia. Negara ini tengah mengambil langkah-langkah untuk memenuhi komitmen nasional, termasuk merealisasikan janji sebagai penyerap karbon emisi gas rumah kaca pada 2030 (FOLU Net Sink 2030), dan beberapa target internasional, seperti Perjanjian Paris mengenai Perubahan Iklim. Target ini perlu dicapai bersama melalui pengembangan pangan serta perlindungan dan restorasi keanekaragaman hayati, sertafungsi ekologis bentang alam pertanian.

Center for International Forestry Reseach dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF), didukung oleh Inisiatif Iklim Internasional Jerman (IKI) telah bekerja di sejumlah negara, termasuk Indonesia, melalui inisiatif Pohon pada Pertanian untuk Keanekaragaman hayati. Hal ini memungkinkan CIFOR-ICRAF memanfaatkan kekayaan pengalaman lapangan dalam Konservasi Keanekaragaman Hayati dan berkontribusi pada dialog untuk pergeseran fokus ke sektor pertanian.

Cara penting untuk mengoptimalkan hasil pertanian sambil menjaga keanekaragaman hayati dan berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim adalah melalui agroforestri.

Pada titik ini, CIFOR-ICRAF baru saja mempublikasikan versi Bahasa Indonesia panduan agroforestri 2022, ‘Agroforestri: Prinsip Utama Desain dan Manajemen untuk Masyarakat dan Lingkungan Hidup’.

Petani di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, telah menerapkan agroforestri selama berabad-abad karena terbukti sebagai metode berkelanjutan dalam mengelola lahan, menanam tanaman, memelihara ternak, dan memberikan mata pencaharian yang memadai bagi keluarga petani. Ilmuwan secara resmi mengakui nilai-nilai agroforestri sejak tahun 1970. Saat ini, agroforestri menjadi bagian krusial dalam diskusi mengenai respons terhadap perubahan iklim, pemulihan keanekaragaman hayati yang terancam, dan keamanan pangan. Banyak organisasi saat ini merekomendasikan agroforestri sebagai metode untuk merestorasi bentang alam.

Namun, seperti yang ditekankan oleh para penulis, agroforestri bukan langkah teknis perbaikan yang sederhana, atau sekadar “tanam pohon di pertanian.” Dalam memandu transisi pertanian menuju sistem berkelanjutan yang memperhatikan keanekaragaman hayati, inklusivitas, resiliensi, dan keamanan pangan, pendukung agroforestri perlu memperhitungkan pendapatan petani, mata pencaharian, dan insentif. “Seringkali, kita melihat proyek penanaman pohon yang lebih menekankan pada upaya penanaman itu sendiri daripada mengelola pohon,” ujar Anja Gassner, Ko-Editor sekaligus Direktur Eropa CIFOR-ICRAF. “Terlalu sering, petani dipandang sebagai penerima manfaat dari proyek agroforestri dan restorasi, bukan sebagai mitra – kebutuhan, aspirasi, dan kapasitas mereka tidak selalu diperhitungkan dengan sepenuhnya.

Inilah tujuan publikasi ini: bukan untuk memberikan panduan “cara kerja” yang umumnya memaparkan teknologi, tetapi panduan untuk membantu petani dan pendukung mereka meningkatkan kapasitas implementasi prinsip agroforestri dalam konteks kondisi lokal – untuk mencapai tujuan dan aspirasi pribadi. Panduan ini ditujukan untuk membimbing para profesional yang mendukung petani dalam menerapkan agroforestri, termasuk pekerja ekstensi, perencana dan manajer, peneliti, fasilitator, guru, dan siswa di bidang agroforestri, serta para profesional yang terlibat dalam proyek dan program yang memanfaatkan agroforestri.

Publikasi ini berisi kontribusi dari praktisi-pakar agroforestri terkemuka di wilayah tropis. Buku ini membahas komponen-komponen kunci sistem agroforestri, termasuk cara agroforestri meningkatkan kesehatan tanah dan konservasi, prinsip-prinsip desain agroforestri, ko-desain serta penerapan praktik agroforestri, bahan penanaman, dan manajemen pohon.

Buku ini mencakup karakteristik praktik agroforesti umum, termasuk tumpangsari tanaman tahunan dengan pohon, peternakan dengan pohon, agroforestri multistrata perenial, agroforestri kakao, agroforestri kelapa sawit, dan pertanian hutan hujan. Di akhir buku, terdapat serangkaian studi kasus sintetis yang menggambarkan penerapan prinsip dan konsep yang dijelaskan dalam panduan oleh petani dan para pendukung mereka.

“Buku ini membawa angin segar bagi percepatan transformasi agroforestri di Indonesia,” ujar Sonya Dewi, Direktur CIFOR-ICRAF Asia. “Para penyuluh, praktisi, dan penggiat agroforestri di tanah air dapat membaca dan memanfaatkan buku ini untuk memperkaya pengetahuan dalam menerapkan agroforestri, serta menyebarkannya dalam jaringan mereka agar lebih banyak pihak dapat memanfaatkannya. Buku ini merupakan sumbangan dari Indonesia dalam bidang agroforestri untuk ketahanan pangan dan mitigasi perubahan iklim global.”

The post Panduan Agroforestri Terbaru, Upaya Membantu Transformasi Sistem Pangan Indonesia appeared first on CIFOR Forests News.


See the rest of the story at mysite.com

Related:
Seeing from all sides: Why we need more women in science
Toucans, tapir and tortoises: Revealing the biological riches of southern Guyana
Congo Basin: Need for more funding to let ‘lungs of Africa’ breathe
Are community rights being upheld in REDD+ safeguards processes and landscapes in East Kalimantan?
Nourishing leadership: Why gender matters in development science
In DRC, Indigenous Peoples and local communities’ inclusion in REDD+ remains a work in progress
Finding common ground for community forest management in Peru
Energy transfer: How one woman scientist aims to spark enthusiasm in the next generation
Framing up the community-centred future of peatland management
For many Indigenous communities, land titles aren’t the same as tenure security
Protected: New roadmap charts course to greener trade
COP28: Pensar en alimentos, suelos y árboles para abordar la crisis del clima
Protected: Toward nature-positive trade in Asia’s agriculture supply chains


source https://forestsnews.cifor.org/85455/panduan-agroforestri-terbaru-upaya-membantu-transformasi-sistem-pangan-indonesia?fnl=enid

Post a Comment

Previous Post Next Post