Pendekatan yurisdiksi (JA) berpotensi meningkatkan rencana aksi tingkat kabupaten dan nasional perkebunan sawit berkelanjutan di Indonesia, demikian menurut hasil riset terbaru yang dilakukan Center for International Forestry Research dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) di empat kabupaten di Sumatra dan Kalimantan. Riset ini juga menegaskan besarnya manfaat melibatkan pemerintah lokal dalam memimpin penerapan riset dan pengembangannya.
Signifikannya peran minyak sawit dalam ekonomi Indonesia, yang mencakup produsen skala besar hingga kecil, dalam mengadopsi JA dapat membantu memitigasi dampak aktivitas perkebunan sawit, meningkatkan tata kelola hutan alam, mengurangi deforestasi dan mendorong produksi buah segar untuk dijual. Inisiatif JA di Indonesia melibatkan beragam aktor, baik secara vertikal di berbagai level, maupun secara horisontal lintas yurisdiksi di satu level.
Pada lokakarya dan dialog nasional yang digelar oleh Global Landscapes Forum (GLF), 12 Oktober 2023 di kantor pusat CIFOR-ICRAF di Bogor, Herry Purnomo, Ilmuwan Senior CIFOR-ICRAF mencatat hanya 21 persen sawit Indonesia tersertifikasi oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), dan bahwa JA bisa mendongkrak angka ini.
“JA bisa mengatasi sejumlah isu kunci terkait dengan pendekatan berbasis proyek, seperti kebocoran, penambahan, kelanggengan, perlindungan sosial, eksklusi sertifikasi, eksternalitas, dan pembagian manfaat,” kata Purnomo. Lebih jauh, lanjutnya, pendekatan ini sejalan Pasal 28, dan UUD Pasal 33, menjamin bahwa sumber daya alam dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.
Dalam program yurisdiksional (JP), secara kolaboratif seluruh pemangku kebentingan merancang teori pendekatan (ToC), Teori Aksi (ToA), serta kerangka pemantauan dan evaluasi (MEF). Pembelajaran bervariasi di tiap kabupaten. Sebagaimana dijelaskan Sonya Dewi, Ekologis Bentang Alam Senior CIFOR-ICRA “JA dapat memperbaiki tata kelola secara menyeluruh berdasar pada prinsip inklusivitas, integrasi dan informatif.”
Riset terfokus pada empat kabupaten: Pelalawan (Provinsi Riau), Sintang (Provinsi Kalimantan Barat), Pulang Pisau (Provinsi Kalimantan Tengah), dan Kutai Kartanegara (Provinsi Kalimantan Timur). Kriteria seleksi kabupaten yaitu area perkebunan sawit, area hutan, risiko deforestasi, area lahan gambut, kemajuan JA, dan pengalaman CIFOR-ICRAF di sana. Inisiatif ini melibatkan 43 organisasi dalam kolaborasi dengan pemerintah, masyarakat sipil, dan produsen.
Purnomo memaparkan temuan kunci, menegaskan bahwa JA dan TOC memfasilitasi akomodasi suara dan kepentingan berbagai pihak, memahami konteks dan tantangan lokal, menetapkan tujuan bersama, mengartikulasikan perubahan, mendorong partisipasi, dan memperkuat kolaborasi. “Tujuan JA untuk mengatasi isu sosial, produksi, legalitas, dan lingkungan, meliputi masalah tenurial, tantangan rantai pasok, konflik lahan, dan tumpang tindih penggunaan lahan dan kepentingan,” katanya.
Ade Muhammad Iswadi, Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Masyarakat Sipil Sintang (FKMS) merinci proses ToC, ToA, dan MEF dalam JP, terfokus pada amplifikasi data, peningkatan kapasitas penanam, tata kelola lingkungan, penanganan sengketa lahan, implementasi sertifikasi Sistem Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO), dan akses pasar produk sawit. Tantangan di Sintang mencakup kompetensi sumber daya manusia, lemahnya kemitraan, kecilnya bagi hasil, ketidakjelasan jalur distribusi produk sawit, dan kesulitan menjamin komitmen investor. Iswadi menekankan urgensi pemberdayaan sumber daya manusia, selaras dengan pengaruh petani pada keberhasilan lebih luas.
Hendrik Segah, peneliti senior Universitas Palangkaraya, menjelaskan implementasi JA di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), juga bertujuan mengurangi pembersihan lahan dan membangun keanekaragaman hayati, meningkatkan manajemen rantai pasok, dan meningkatkan penghidupan masyarakat di sekitar perkebunan
Okto Yugo Setyo, Wakil Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), menyoroti tantangan yang dialami di Kabupaten Pelalawan, meliputi kurangnya data perkebunan sawit, koordinasi antar lembaga pemerintah, investor infrastruktur, akses modal bagi petani, serta pemantauan dan tata kelola kepatuhan perusahaan terhadap hukum.
“JP dirancang untuk memberi solusi pada semua tantangan ini, seperti mengoptimalkan data petani, meningkatkan literasi finansial, mendorong implementasi Kebijakan Satu Peta,” katanya. Proses ini melibatkan 12 pemangku kepentingan dari lintas pemerintahan, sektor swasta, petani kecil, dan masyarakat sipil. Forum Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FoKSBI) menjadi kekuatan pendorong implementasi JA bagi konservasi hutan dan pengembangan komoditas berkelanjutan di kabupaten ini.
Di Pulang Pisau, FoKSBI juga membantu pencapaian tujuan berkelanjutan dengan mengatasi konflik tenurial, keterbatasan sumber daya manusia, kendala finansial, tekanan lingkungan, dan tantangan yang muncul dari kebijakan desentralisasi. Peserta diskusi sepakat bahwa untuk mencapai tujuan JA, pemerintah pusat perlu memberi insentif bagi kabupaten. Penting pula menyeimbangkan pendanaan lokal dan nasional melalui pembagian keuntungan yang adil.
Marcello de Maria, pakar sains, kebijakan, dan pengambilan keputusan Universitas Reading, memberikan perbandingan perspektif dengan berbagi pengalaman JA dalam keberlanjutan kedelai di Brasil. Tantangan yang dihadapi Brasil mirip dengan sektor perkebunan sawit Indonesia, yaitu isu tenurial lahan, kurangnya harmonisasi dan kurang tepatnya regulasi bagi standar keberlanjutan.
“Untuk harmonisasi dan integrasi kita perlu partisipasi, pengambilan keputusan yang demokratis, serta kejelasan aturan dan tata kelola yang mewakili seluruh pemangku kepentingan,” katanya.
Ucapan Terima Kasih
The post Indonesia: Pendekatan Yurisdiksi Mendorong Sawit Berkelanjutan appeared first on CIFOR Forests News.
See the rest of the story at mysite.com
Related:
Seeing from all sides: Why we need more women in science
Toucans, tapir and tortoises: Revealing the biological riches of southern Guyana
Congo Basin: Need for more funding to let ‘lungs of Africa’ breathe
Are community rights being upheld in REDD+ safeguards processes and landscapes in East Kalimantan?
Nourishing leadership: Why gender matters in development science
In DRC, Indigenous Peoples and local communities’ inclusion in REDD+ remains a work in progress
Finding common ground for community forest management in Peru
Energy transfer: How one woman scientist aims to spark enthusiasm in the next generation
Framing up the community-centred future of peatland management
For many Indigenous communities, land titles aren’t the same as tenure security
Indonesia: jurisdictional approach helps drive sustainable palm oil
Overcoming gender barriers helps families in Ethiopia
Comment la RDC peut-elle réduire ses émissions de CO2 ?
source https://forestsnews.cifor.org/85837/indonesia-pendekatan-yurisdiksi-mendorong-sawit-berkelanjutan?fnl=enid